Adab-adab Bagi Orang Sakit dan Bagi Orang yang Menjenguknya
ADAB-ADAB BAGI ORANG SAKIT DAN YANG MENJENGUKNYA Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani Adab-Adab Bagi Orang Sakit 1. Selayaknya bagi yang terkena musibah baik yang terkena itu dirinya, anaknya atau selainnya untuk mengganti ucapan mengaduh pada saat sakit dengan berdzikir, istighfar dan ta’abbud (beribadah) kepada Allah, karena sesungguhnya generasi Salaf -semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka- tidak suka mengeluh kepada manusia, karena meskipun mengeluh itu membuat sedikit nyaman, namun mencerminkan kelemahan dan ketidakberdayaan sedangkan bila mampu bersabar dalam menghadapi kondisi sakit tersebut, maka hal itu menunjukkan pada kekuatan pengharapan pada Allah dan kemuliaan. 2. Bagi orang yang sakit boleh untuk mengadu kepada dokter atau orang yang dapat dipercaya tentang sakit dan derita yang dialaminya, selama itu bukan karena kesal maupun keluh kesah. 3. Hendaknya meletakkan tangannya pada bagian yang sakit kemudian mengucapkan do’a dari hadits (yang shahih) seperti: بِسْمِ اللهِ. “Dengan menyebut Nama Allah (tiga kali).” Kemudian mengucapkan sebanyak tujuh kali: أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ. “Aku berlindung kepada Allah dan kepada kekuasaan-Nya dari keburukan apa yang aku temui dan aku hindari.” [HR. Muslim no. 2022 (67)] 4. Berusaha untuk meminta kehalalan atas barang-barang yang masih menjadi tanggungannya, barang yang menjadi hutangnya atau yang pernah dirampas dari pemiliknya, menuliskan wasiat dengan menjelaskan apa-apa yang merupakan miliknya, hak-hak manusia yang harus dipenuhinya, juga wajib baginya untuk mewasiatkan harta-harta yang bukan merupakan bagian dari warisannya, tanpa merugikan hak-hak warisnya.[1] 5. Tidak boleh menggantungkan jampi-jampi, jimat-jimat, dan semua yang mengandung kesyirikan.[2] Namun disyari’atkan baginya untuk mengobati sakitnya dengan ruqyah dan do’a-do’a yang disyari’atkan (do’a dari al-Qur-an dan as-Sunnah).[3] 6. Hendaknya bersegera untuk bertaubat secara sungguh-sungguh dengan memenuhi syarat-syaratnya[4] dan senantiasa memperbanyak amalan shalih. 7. Bagi orang yang sakit hendaknya berhusnuzhzhan (berprasangka baik) kepada Allah dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan menggabungkan antara takut dan pengharapan, serta disertai amalan yang ikhlas. Hal ini berda-sarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: لاَ يَمُوْتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَ بِاللهِ. “Janganlah seorang di antara (menginginkan) kematian kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.” [HR. Muslim no. 2877, Abu Dawud no. 3113] Adab-Adab Bagi Orang Yang Menjenguk Orang Sakit. 1. Hendaknya dalam mengunjungi orang yang sakit diiringi dengan niat yang ikhlas dan tujuan yang baik. Seperti misalnya yang dikunjunginya adalah seorang ulama atau teman yang shalih, atau engkau mengunjunginya dalam rangka untuk beramar ma’ruf atau mencegah kemunkaran yang dilakukan dengan lemah lembut atau dengan tujuan memenuhi hajatnya atau untuk melunasi hutangnya, atau untuk meluruskan agamanya atau untuk mengetahui tentang keadaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ عَادَ مَرِيْضاً أَوْ زَارَ أَخاً لَهُ فِي اللهِ أَيْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ نَادَاهُ مُنَادٍ بِأَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلاً “Barangsiapa mengunjungi orang yang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah atau di jalan Allah, akan ada yang menyeru kepadanya, ‘Engkau telah berlaku mulia dan mulia pula langkahmu (dalam mengunjunginya), serta akan kau tempati rumah di Surga.” [HR. At-Tirmidzi no. 2008, Ibnu Majah no. 1433, hasan. Lihat Misykaatul Mashaabih no. 5015 oleh Imam al-Albani] 2. Hendaknya memperhatikan situasi dan kondisi yang sesuai ketika hendak menjenguk. Janganlah memberatkan orang yang dijenguk dan pilihlah waktu yang tepat. Jika orang yang sakit dirawat di rumah hendaknya meminta izin terlebih dahulu sebelum menjenguknya, mengetuk pintu rumahnya dengan pelan, menundukkan pandangannya, menyebutkan perihal dirinya, dan tidak berlama-lama karena bisa jadi itu dapat membuatnya lelah. 3. Hend
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Pelanggaran Ilmuan Barat Terhadap Hak Intelektual Ilmuan Muslim
Pelanggaran Ilmuan Barat Terhadap Hak Intelektual Ilmuan Muslim Menghormati Kekayaan Intelektual Dalam Peradaban Islam Islam datang sebagai cahaya untuk dunia. Dengan Islam peradaban manusia menjadi tinggi. Prinsip amanah dan kejujuran dijunjung. Dan hak orang lain tidak dilanggar. Di masa-masa kegelapan, manusia hidup tanpa nilai dan akhlak. Tak ada penghormatan terhadap penemuan dan hak cipta. Sehingga orang-orang bisa mengklaim karya orang lain demi mendapatkan materi dan ketenaran. Berbicara tentang kekayaan intelektual, ulama dan ilmuan muslim adalah orang-orang yang banyak dizalimi dalam hal ini. Penemuan mereka dicuri. Hasil karya dan temuan mereka diklaim, dikaitkan dengan ilmuan Barat yang lahir puluhan bahkan ratusan tahun setelah mereka. Di antara contohnya adalah: Temuan Ibnu Nafis Tentang Sirkulasi Darah Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Abi Hazm al-Qarshi al-Dimasyqi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Nafis adalah seorang dokter Arab. Ia merupakan orang pertama yang menggambarkan sirkulasi darah pulmonal. Hal ini ia catat dalam bukunya Syarah Tasyrih al-Qanun. Fakta ini tersembunyi selama berabad-abad. Tiga abad setelah wafatnya Ibnu Nafis, penemuan ini dikaitkan kepada seorang dokter Inggris, William Harvey. Klaim ini terus berlangsung hingga Dr. Muhyiddin ath-Thawi dari Mesir mengungkap fakta yang sebenarnya. Pada tahun 954 H / 1547 M, seorang dokter Italia Albağu menerjemahkan beberapa bagian dari buku Ibn al-Nafis (Syarah Tasyrih al-Qanun) ke bahasa Latin. Untuk meningkatkan kemampuan bahasa Arabnya, demi menerjemahkan buku kedokteran itu, tak tanggung-tanggung Albağu tinggal di ar-Ruha selama kurang lebih dari 30 tahun. Bagian buku yang membahas peredaran darah adalah bagian yang ia terjemahkan. Namun, terjemahan ini sempat menghilang. Kemudian seorang ilmuan Spanyol yang menempuh pendidikan di Paris, Michael Servetus, kembali meneliti dan mencari terjemahan Albağu. Akibatnya, Servetus dituduh murtad dari Nasrani. Ia dikeluarkan dari unibersitasnya. Kemudian ia lari dari satu kota ke kota lainnya. Hingga akhirnya ia dan kebanyakan buku-buku yang ia tulis dibakar pada tahun 1065 H 1553 M. Sebagian buku karya Servetus yang tersisa, di antaranya adalah nukilan-nukilan Albağu dari Ibnu Navis tentang peredaran darah. Para peneliti terus menukilkan temuan Ibnu Nafis ini sebagai penelitian Servetus kemudian dinisbatkan kepada Harvey. Kemudian pada tahun 1343 H / 1924 M, seorang dokter Mesir, Muhyiddin at-Tathawi, meluruskan fakta sejarah ini. Hal itu bermula saat ia mencari referensi untuk disertasinya. Ia menemukan manuskrip Syarah Tasyrih al-Qanun karya Ibnu Nafis di perpustakaan Berlin. Sehingga kembalilah temuan itu kepada pemiliknya. Seorang orientalis Italia dan penulis buku al-Ilmu ‘Inda al-Arab wa Atsaruhu fi Tathowwuri al-Ilmu al-Alami, Aldo Mieli (1879-1950), mengatakan, “Ibnu Nafis mendeskripsikan peredaran kecil dengan kalimat yang persis sama seperti apa yang dinyatakan oleh Servetus. Dengan demikian jelas, hak temuan sirkulasi darah ini disandarkan pada Ibnu Nafis, bukan kepada Servetus.” (Ali Abdullah ad-Difa’ dalam Ruwad Ilmu ath-Thib fi al-Hadharah al-Islamiyah, Hal: 451). Pencurian Hak Intelektual Masih banyak khianat ilmiah lainnya yang dilakukan oleh ilmuan barat terhadap ilmuan Islam. Di antaranya: Pertama: Ilmu Sosiologi yang dinisbatkan kepada Émile Durkheim (1858-1917). Seorang ilmuan Yahudi Perancis, pengajar di Universitas Bordeaux dan Sorbone. Orang-orang barat mengenalnya sebagai penggagas ilmu sosiologi. Di kemudian hari diketahui bahwa ilmu ini dirumuskan oleh ilmuan muslim, Ibnu Khaldun. Kedua: Hukum Gerak yang diklaim sebagai temuan Newton. Terungkap kemudian bahwa hukum ini ditemukan oleh dua orang ilmuan timur: Ibnu Sina dan Habatullah bin Malka. Abul Barakat Habatullah bin Ali bin Malka al-Baladi. Ia wafat pada tahun 560 H / 1165 M. seorang dokter yang tinggal di Baghdad ini awalnya seorang Yahudi, kemudian memeluk Islam di akhir hayatnya. Ia seorang pegawai Khalifah al-Mustanjid Billah al-Abbasi. Lebih lanjut tentang dirinya bisa dirujuk dalam ‘Uyun al-Anba oleh Ibnu Abi Ushai
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Tiga Catatan Tentang Mimpi Buruk
Tiga Catatan Tentang Mimpi Buruk Pertanyaan: Apa yang mesti kita lakukan dengan mimpi buruk yang akhir-akhir ini hadir di mimpi saya. Dan kenapa selalu ada yg meninggal di dalam mimpi saya?? Dari: Uche Jawaban: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah Bagian dari kesempurnaan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengajarkan semua hal penting dalam kehidupan manusia. Hanya saja, ada orang yang berusaha memahaminya dan ada yang melupakannya. Seseorang akan bisa merasakan dan meyakini betapa sempurnanya Islam, ketika dia memahami aturan syariat yang demikian luas. Di saat itulah, seorang muslim akan semakin yakin dengan agamanya. Anda bisa buktikan dan mencobanya. Diantaranya petunjuk tentang mimpi. Meskipun Islam tidak mengajarkan umatnya tentang takwil mimpi yang mereka alami, namun rambu-rambu yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah sangat memadai untuk menjadi panduan dalam mensikapi mimpi. Tak terkecuali, mimpi buruk. Ada beberapa hal yang dijelaskan dalam Islam, terkait mimpi buruk. Pertama, mimpi tidak semuanya benar Sumber mimpi tidak selamanya datang dari Allah. Bisa juga karena bawaan perasaan atau permainan setan. Disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الرؤيا ثلاث حديث النفس وتخويف الشيطان وبشرى من الله “Mimpi itu ada tiga macam: bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari Allah.” Makna Hadis: – “Bisikan hati”: terkadang seseorang memikirkan sesuatu ketika sadar. Karena terlalu serius memikirkan, sampai terbawa mimpi. – “Ditakuti setan”: mimpi yang datang dari setan. Bentuknya bisa berupa mimpi basah atau mimpi yang menakutkan. Jenis mimpi yang ketiga adalah kabar gembira dari Allah. Mimpi ini adalah mimpi yang berisi sesuatu yang baik dan menggembirakan kaum muslimin. (Keterangan Dr. Musthafa Dhib al-Bugha, salah seorang ulama bermazhab Syafi’i, dalam ta’liq untuk Shahih Bukhari) Kedua, mimpi buruk berasal dari setan Dari jenis mimpi di atas, mimpi buruk termasuk salah satu permainan setan kepada bani Adam. Mereka ingin menakut-nakuti manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menceritakan mimpi buruk kepada siapa pun. عَنْ جَابِرٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْتُ فِى الْمَنَامِ كَأَنَّ رَأْسِى ضُرِبَ فَتَدَحْرَجَ فَاشْتَدَدْتُ عَلَى أَثَرِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلأَعْرَابِىِّ « لاَ تُحَدِّثِ النَّاسَ بِتَلَعُّبِ الشَّيْطَانِ بِكَ فِى مَنَامِكَ ». وَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدُ يَخْطُبُ فَقَالَ « لاَ يُحَدِّثَنَّ أَحَدُكُمْ بِتَلَعُّبِ الشَّيْطَانِ بِهِ فِى مَنَامِهِ . Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, ada seorang Arab badui datang menemui Nabi kemudian bertanya, “Ya rasulullah, aku bermimpi kepalaku dipenggal lalu menggelinding kemudian aku berlari kencang mengejarnya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut, “Jangan kau ceritakan kepada orang lain ulah setan yang mempermainkan dirimu di alam mimpi”. Setelah kejadian itu, aku mendengar Nabi menyampaikan dalam salah satu khutbahnya, “Janganlah kalian menceritakan ulah setan yang mempermainkan dirinya dalam alam mimpi” (HR Muslim) Ketiga, Yang harus dilakukan ketika mimpi buruk Ada beberapa hal yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang mimpi buruk: 1. Meludah kekiri 3 kali. 2. Memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dari setan 3 kali, dengan membaca أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “A’udzu billahi minas-syaithanir-rajiim” atau bacaan ta’awudz lainnya). 3. Memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut. 4. Atau sebaiknya dia bangun kemudian melaksanakan Shalat. 5. Mengubah pisisi tidurnya dari posisi semula ia tidur, jika ia ingin melanjutkan tidurnya, walaupun ia harus memutar kesebelah kiri, hal ini sesuai zahir hadis. 6. Tidak boleh menafsir mimpi tersebut baik menafsir sendiri atau dengan meminta bantuan orang lain. Keterangan tentang hal ini terdapat dalam beberapa hadis berikut : Dari Jabir radhiallahu ‘anhu
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Adab-adab Menguap dan Bersin
ADAB-ADAB MENGUAP Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani 1. Apabila seseorang akan menguap, maka hendaknya menahan semampunya dengan jalan menahan mulutnya serta mempertahankannya agar jangan sampai terbuka, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ. “Kuapan (menguap) itu datangnya dari syaitan. Jika salah seorang di antara kalian ada yang menguap, maka hendaklah ia menahan semampunya” [HR. Al-Bukhari no. 6226 dan Muslim no. 2944. Lafazh ini berdasarkan riwayat al-Bukhari] Apabila tidak mampu menahan, maka tutuplah mulut dengan meletakkan tangannya pada mulutnya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيْهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ “Apabila salah seorang di antara kalian menguap maka hendaklah menutup mulut dengan tangannya karena syaitan akan masuk (ke dalam mulut yang terbuka).” [HR. Muslim no. 2995 (57) dan Abu Dawud no. 5026] 2. Tidak disyari’atkan untuk meminta perlindungan dari syaitan kepada Allah ketika menguap, karena hal tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para Sahabatnya. ADAB-ADAB BERSIN 1. Hendaknya orang yang bersin untuk merendahkan suaranya dan tidak secara sengaja mengeraskan suara bersinnya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَطَسَ غَطَّى وَجْهَهُ بِيَدِهِ أَوْ بِثَوْبِهِ وَغَضَّ بِهَا صَوْتَهُ. “Bahwasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup wajah dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan suaranya.” [HR. Ahmad II/439, al-Hakim IV/264, Abu Dawud no. 5029, at-Tirmidzi no. 2746. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/355 no. 2205] 2. Hendaknya bagi orang yang bersin menahan diri untuk tidak menolehkan leher (menekukkan leher) ke kanan atau ke kiri ketika sedang bersin karena hal tersebut dapat membahayakannya. Seandainya lehernya menoleh (menekuk ke kanan atau ke kiri) itu dimaksudkan untuk menjaga agar tidak mengenai teman duduk di sampingnya, hal itu tidak menjamin bahwa lehernya tidak cedera. Telah terjadi pada beberapa orang ketika bersin memalingkan wajahnya dengan tujuan untuk menjaga agar teman duduknya tidak terkena, namun berakibat kepalanya kaku dalam posisi menoleh. 3. Dianjurkan kepada orang yang bersin untuk mengucapkan alhamdulillaah sesudah ia selesai bersin. Dan tidak disyari’atkan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya untuk serta merta mengucapkan pujian kepada Allah (menjawabnya) ketika mendengar orang yang bersin. Telah ada ungkapan pujian yang disyari’atkan bagi orang yang bersin sebagaimana yang tertuang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu: اَلْحَمْدُ ِللهِ. “Segala puji bagi Allah” [HR. Al-Bukhari no. 6223, at-Tirmidzi no. 2747] اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” [HR. Al-Bukhari di dalam al-Adaabul Mufrad no. 394, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 224, Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.259. Lihat Shahihul Jami’ no. 686] اَلْحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ. “Segala puji bagi Allah atas segala hal” [HR. Ahmad I/120,122, at-Tirmidzi no. 2738, ad-Darimi II/283, al-Hakim IV/66. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/354 no. 2202] اَلْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكاً فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَ يَرْضَى. “Segala puji bagi Allah (aku memuji-Nya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh ke-berkahan sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kami.” [HR. Abu Dawud no. 773, al-Hakim III/232. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud I/147 no. 700] 4. Wajib bagi setiap orang yang mendengar orang bersin (dan mengucapkan alhamdulillah) untuk melakukan tasymit kepadanya, yaitu dengan mengucapkan, يَرْحَمُكَ اللهُ “Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.” Apabila tidak mendengarnya mengucapkan al-hamdulillah, maka janganlah mengucapkan tasymit (ucapan yar
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Konsekuensi Syahadatain
Konsekuensi Syahadatain Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang layak disembah. Dasar dari agama Islam terletak pada syahadatain, dua kalimat kesaksian yang menjadi pintu gerbang masuknya seseorang ke dalam agama Islam. Syahadatain terdiri dari dua bagian: Lailahaillallah dan Muhammadan Rasulullah. Dua kalimat syahadat ini merupakan rukun pertama keislaman seseorang. Tatkala seseorang mengucapkan kesaksian syahadat, maka ia telah menerima segala konsekuensinya. Syahadat Lailahaillallah mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk menyembah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak membiarkan sedikit pun celah penghambaannya kepada makhluk. Begitu pula, syahadat Muhammadan Rasulullah yang mengandung komitmen seorang yang mengucapkannya untuk ittiba’ secara totalitas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khususnya dalam perkara ibadah kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ الْبَيْتِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima: persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; naik haji; dan puasa Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab) Tatkala seorang hamba mengucapkan dua kalimat syahadat, ia seakan terlahir kembali dengan sebuah janji suci yang terukir di dalam hatinya. Janji ini bukan sekadar lafaz yang terucap di bibir, melainkan ikrar yang mengikat jiwa untuk menjalani hidup dalam ketundukan total kepada Allah dan ittiba’ yang tulus kepada Rasul-Nya. Dua kalimat yang tampak sederhana ini menyimpan kekuatan dahsyat yang mampu mengubah hidup seseorang, membimbingnya dari kegelapan menuju cahaya, dari kebingungan menuju kepastian. Dalam setiap kalimatnya, terdapat konsekuensi yang menuntut komitmen penuh, yang bila dipahami dan diamalkan, akan membentuk pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia.Makna syahadat Lailahaillallah Lailahaillallah berarti “Tiada sesembahan yang berhak disembah, selain Allah.” Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang Muslim menyatakan keyakinannya bahwa tidak ada Zat yang layak disembah, kecuali Allah. Konsekuensi dari syahadat ini adalah komitmen untuk mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah, baik itu salat, puasa, zakat, haji, maupun ibadah lainnya. Seorang muslim harus menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, yakni mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikanlah, betapa keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar komitmen untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dengan ampunan sepenuh dosa yang dilakukan hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. “Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540) Ketika seorang muslim mengucapkan Lailahaillallah, ia berjanji untuk mengabdikan seluruh hidupnya hanya kepada Allah Ta’ala. Ini berarti semua tindakan, pikiran, dan tujuan hidupnya harus selaras dengan kehendak Allah. Seorang muslim harus menghindari semua bentuk penyembahan kepada makhluk, seperti berdoa kepada selain Allah, mempercayai ramalan nasib, atau menggantungkan harapan kepada benda-benda tertentu. Penghambaan total ini menuntut konsistensi dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Namun, perlu diingat bahwa kita wajib menyempurnakan rukun syahadat yang pertama ini. Rukun syahadat Lailahaillallah ada dua, yaitu: Pertama: Peniadaan (an-nafyu), dalam ucapan “Lailaha”, yaitu membatalkan segala praktik kesyirikan dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yan
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Adab-adab Mengucapkan Salam
ADAB-ADAB MENGUCAPKAN SALAM Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani 1. Apabila bertemu dengan seorang teman, maka cukupkanlah dengan berjabat tangan disertai dengan ucapan salam (assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh) tanpa berpelukan, kecuali ketika menyambut kedatangannya dari bepergian, karena memeluknya pada saat tersebut sangat dianjurkan. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا. “Apabila Sahabat-Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saling berjumpa, maka mereka saling berjabat tangan, dan apabila mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” [HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath no. 97 dan Imam al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’uz Zawaa-id VIII/36, “Para perawinya adalah para perawi tsiqah.”] 2. Sangat dianjurkan untuk mengucapkan salam secara sempurna, yaitu dengan mengucapkan, “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wa barakaatuhu.” Hal ini berdasarkan hadits ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، فَرَدَّ عَلَيْهِ ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ، ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ: عِشْرُوْنَ، ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ ثَلاَثُوْنَ . “Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan, ‘Assalaamu‘alaikum.’ Maka dijawab oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia duduk, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepuluh.’ Kemudian datang pula orang lain (yang kedua) memberi salam, ‘Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah.’ Setelah dijawab oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia pun duduk, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Dua puluh.’ Kemudian datang orang yang lain lagi (ketiga) dan mengucapkan salam: ‘Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh.’ Maka, dijawab oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia pun duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga puluh.’” [HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 986, Abu Dawud no. 5195 dan at-Tirmidzi no. 2689 dan beliau menghasankannya] 3. Tidak disyari’atkan mengucapkan salam dengan lafazh: اَلسَّلاَمُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى. “Semoga keselamatan tercurah hanya kepada orang yang mengikuti petunjuk.” Apabila yang diberi salam seorang muslim, karena lafazh salam di atas khusus diperuntukkan selain muslimin sebagaimana dalam surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Raja Hiraclius: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ إِلَى هَرَقْلِ عَظِيْمِ الرُّوْمِ، سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى… “Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad hamba Allah dan utusannya, kepada Hiraclius penguasa bangsa Romawi, keselamatan bagi orang-orang yang mau mengikuti petunjuk.” Sedangkan hikmah di balik memberikan salam kepada orang-orang selain Islam dengan lafazh tersebut, kemungkinan (hanya Allah Yang Mahatahu) adalah untuk meluluhkan hati mereka, memberikan rasa aman kepada mereka dengan pengajuan syarat-syarat, yaitu mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang demikian itu apabila diucapkan kepada seorang muslim itu berarti telah mencabut haknya sebagai seorang mukmin, karena dia seorang muslim, maka dia adalah orang yang sudah mendapatkan petunjuk, maka tidak diperbolehkan untuk menggunakan lafazh tersebut yang ditujukan kepada saudara sesama muslim. 4. Dilarang mengucapkan salam dengan lafazh: عَلَيْكَ السَّلاَمُ. “Semoga keselamatan senantiasa tercurah atasmu.” Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Tamimah al-Hujaimi dari seorang laki-laki yang berasal dari kaumnya. Dalam riwayat yang lain dikatakan laki-laki itu bernama Abu Jura al-Hujaimi, dia berkata: طَلَبْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَي
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Adab-adab Tidur
ADAB-ADAB TIDUR Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani 1. Tidak mengakhirkan tidur malam selepas shalat Isya’ kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengulang (muraja’ah) ilmu atau adanya tamu atau menemani keluarga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Barzah Radhiyallahu anhu: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ (صَلاَةِ) الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا. “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur malam sebelum (shalat Isya’) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.”[1] 2. Hendaknya tidur dalam keadaan sudah berwudhu’ terlebih dahulu sebagaimana hadits: إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ. “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu’ terlebih dahulu sebagaimana wudhu’mu untuk melakukan shalat.” [HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710] 3. Hendaknya mendahulukan posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan) dan berbantal dengan tangan kanan, tidak mengapa apabila setelahnya berubah posisinya di atas sisi kiri (rusuk kiri sebagai tumpuan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: اِضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ اْلأَيْمَنِ. “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” [HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710] 4. Tidak dibenarkan telungkup dengan posisi perut sebagai tumpuannya baik ketika tidur malam ataupun tidur siang. Sebagaimana hadits: إِنَّهَا ضَجْعَةٌ يَبْغَضُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. “Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla.”[2] 5. Membaca ayat-ayat al-Qur-an, antara lain: a. Membaca ayat kursi: اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ “Allah, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” [Al-Baqarah/2: 255][3] b. Membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah: آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ “Rasul telah beriman kepada al-Qur-an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membedabedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-Rasul-Nya,’ dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdo’a): ‘Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a): ‘Ya Rabb kami, jang
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Hukum Menikahi Saudara Sepupu
Hukum Menikahi Saudara Sepupu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan dan mendorong untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari no. 5065) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, تزوجوا الودود الولود “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur … ” (HR. Ibnu Hibban no. 4028 dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah) Pernikahan disyariatkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma‘ (kesepakatan ulama). [1] Disyariatkannya pernikahan mengandung banyak hikmah yang beragam. Di antaranya adalah menjaga kelangsungan keturunan melalui reproduksi, menundukkan pandangan, dan menjaga diri dari zina. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk melindungi perempuan, memberikan nafkah, dan memenuhi kebutuhan mereka, serta menjalin kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai urusan kehidupan. Dan masih banyak lagi hikmah-hikmah dari pernikahan yang telah disyariatkan dalam Islam. [2]Pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat Para ulama sepakat bahwa pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat. Halangan-halangan syariat adalah hubungan yang ditetapkan oleh syariat sebagai sebab diharamkannya pernikahan antara laki-laki dan perempuan, baik secara permanen maupun sementara. Para ulama membahas hal ini dalam bab Al-Muharramat fin Nikah. [3] Pengharaman ini tentu memiliki banyak hikmah. Di antaranya adalah bahwasanya Islam memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dan menjaga hubungan yang menghubungkan individu satu sama lain, serta melindunginya dari permusuhan dan perselisihan. Al-Kasani rahimahullah mengatakan, إِنَّ نِكَاحَ هَؤُلَاءِ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ لأَِنَّ النِّكَاحَ لَا يَخْلُو مِنْ مُبَاسَطَاتٍ تَجْرِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَادَةً، وَبِسَبَبِهَا تَجْرِي الْخُشُونَةُ بَيْنَهُمَا، وَذَلِكَ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ، فَكَانَ النِّكَاحُ سَبَبًا لِقَطْعِ الرَّحِمِ، مُفْضِيًا إِلَيْهِ، وَقَطْعُ الرَّحِمِ حَرَامٌ، وَالْمُفْضِي إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ “Pernikahan dengan orang-orang yang diharamkan dapat menyebabkan putusnya silaturahmi. Karena pernikahan tidak terlepas dari interaksi antara suami istri yang biasanya terjadi, dan karenanya dapat menimbulkan perselisihan di antara mereka, yang pada akhirnya menyebabkan putusnya silaturahmi. Dengan demikian, pernikahan menjadi sebab putusnya silaturahmi dan mengarah kepadanya. Memutuskan silaturahmi adalah haram, dan sesuatu yang mengarah kepada yang haram juga haram.” [4]Syariat membolehkan pernikahan dengan saudara sepupu Saudara sepupu tidak termasuk mahram, yang dilarang untuk dinikahi. Dalam bahasa kita, misan atau sepupu atau saudara sepupu (kakak maupun adik) adalah saudara senenek dan sekakek atau anak dari paman atau bibi. [5] Dalam istilah fikih, sepupu biasa disebutkan dengan بنت العم والعمة والخال والخالة “Anak perempuan dari paman dan bibi dari pihak bapak, dan paman dan bibi dari pihak ibu (jika kita melihat dari sisi laki-laki).” Termasuk juga anak perempuan paman ayah, anak perempuan paman kakek, dan semisalnya. Allah Ta’ala membolehkan menikah dengan saudara sepupu, jika tidak ada halangan dari sisi persusuan. [6] Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala, وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ “… dan (dengan) anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu dan anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu …” (QS. Al-Ahzab: 50) Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya [7] mengatakan, هَذَا عَدْلٌ وَسط بَيْنِ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ؛ فَإِنَّ النَّصَارَى لَا يَتَزَوَّجُونَ الْمَرْأَةَ إِلَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا سَبْعَةُ أَجْدَادٍ فَصَاعِدًا، وَالْيَهُودُ يَتَزَوَّجُ أَحَدُهُمْ ب
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
PERISTIWA DI ALAM KUBUR
PERISTIWA DI ALAM KUBUR Kalangan atheis dan orang-orang Islam yang mengikuti pendapat para filosof mengingkari adanya adzab kubur. Mereka beralasan bahwa setelah membongkar kubur, mereka tidak melihat sama sekali apa yang diberitakan oleh nash-nash syariat. Mereka semua tidak mempercayai apa yang di luar jangkauan ilmu mereka. Mereka mengira bahwa penglihatan mereka dapat melihat segala sesuatu dan pendengaran mereka dapat mendengar segala sesuatu, padahal kita saat ini telah mengetahui beberapa rahasia alam yang oleh penglihatan dan pendengaran kita tidak dapat menangkapnya. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan membenarkan berita-Nya. Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/112372-peristiwa-di-alam-kubur.html 🎬 Video Pendek :: Bagaimana Supaya Bisa Menjawab Pertanyaan dan Selamat di Alam Barzakh (Alam Kubur) :: https://youtu.be/HfBXLwh_UsE?si=QvWRQ56BCl8C2jeB :: Amalan Apa Saja yang Dapat Menyelamatkan Dari Adzab Kubur :: https://youtu.be/1rZy7O4d_uQ?si=2VPoxSVaHX-WuYz2 :: Apa Saja yang Bermanfaat Buat Si Mayit :: https://youtu.be/s-7q74iEla4?si=B1KroQcc-Orxhpho Tolong dibaca dan dengarkan sampai selesai, dan silahkan dishare. Mudah-mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allah Ta’aala memberikan Hidayah Taufiq kepada kaum muslimin untuk memahami Agama yang benar dan beramal dengan Ikhlas karena Allah dan Ittiba’ kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam. Jazaakumullahu khairan.
Розпочато
Harits Suhail
@
|
Faedah dan Kandungan Doa Keluar Rumah
Faedah dan Kandungan Doa Keluar Rumah Salah satu aktivitas yang tidak bisa lepas dari kehidupan kita adalah keluar dari rumah (tempat tinggal) untuk melakukan berbagai macam kegiatan, baik yang bersifat ibadah atau dunia (muamalah). Karena hal ini tidak mungkin kita hindari, maka IsIam sangat memperhatikan hal tersebut. Islam mengajarkan adab dan etika yang mesti kita perhatikan saat kita keluar rumah. Salah satu dari adab dan etika tersebut adalah dituntunkannya membaca doa keluar rumah. Doa keluar rumah, redaksi dan bacaannya sangat beragam. Maka, yang akan kita bahas pada artikel kali ini adalah salah satu doa yang tidak pernah dilupakan dan ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, sayangnya banyak dari kita yang belum tahu dan mengamalkan doa tersebut. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, مَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَيْتِي قَطُّ إِلَّا رَفَعَ طَرْفَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ “Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumahku, beliau mengarahkan pandangannya ke langit, kemudian berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَىَّ ALLAHUMMA INNI A-’UDZU BIKA AN ADHILLA AW UDHALLA AW AZILLA AW UZALLA AW AZLIMA AW UZLAMA AW AJHALA AW YUJHALA ‘ALAYYA ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari aku tersesat, atau aku menyesatkan, atau aku tergelincir, atau aku digelincirkan, atau aku menzalimi, atau aku dizalimi, atau kebodohanku atau dibodohi.’” (HR. Abu Dawud no. 5094, Nasai no. 5486, Ibnu Majah no. 3884. Dinilai hasan oleh Ibnu Hajar.)Faedah dan kandungan dari doa:Pertama, Allah ada di atas Ketika Nabi berdoa, maka beliau mengangkat pandangannya ke langit karena Allah ada di atas (Arasy). Allah Ta’ala berfirman, ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arasy.” (QS. Taha: 5) Dan ketika kita berdoa memandang ke atas adalah untuk menghadirkan perasaan bahwa kita sedang di awasi oleh Allah yang ada di atas (Arasy). Maka, saat kita di luar rumah (maupun di dalam rumah), hendaknya kita senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا “Dan Allah Maha mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 52)Kedua, meminta perlindungan agar tidak tersesat atau disesatkan orang lain Setiap keluar rumah, maka mau tidak mau kita akan berinteraksi dengan orang lain. Tatkala berjumpa dengan orang-orang tersebut, ada yang karakternya baik, sebaliknya ada yang buruk. Ada yang kita kenal maupun tidak kita kenal. Sehingga sangat mungkin kita terjerumus kepada hal-hal yang negatif (keburukan). Keburukan yang datang bisa jadi karena kita yang melakukan (pelaku) atau bisa juga kita sebagai korban keburukan tersebut. Oleh karenanya, dalam doa di atas, kita dituntunkan untuk meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala, Zat yang Maha Memberi Perlindungan. Salah satu keburukan yang kita meminta dijauhkan darinya adalah kesesatan. Kita meminta perlindungan kepada Allah dari menyesatkan orang lain atau disesatkan orang lain. Baik maknanya tersesat secara maknawi (agama, pemahaman dan hidayah) atau tersesat secara hissi (perjalanan yang akan kita tempuh dan lalui). Bisa jadi, ketika keluar rumah, niat kita baik, tetapi di tengah jalan, tiba-tiba kita bertemu teman yang mengajak melakukan perbuatan buruk atau perbuatan yang membuat kita melalaikan tujuan baik tadi.Ketiga, meminta perlindungan dari ketergelinciran Setelah yang pertama kita meminta perlindungan dari keburukan karena kesengajaan, yaitu kesesatan. Kemudian yang kedua kita meminta perlindungan dari keburukan yang tidak disengaja, yaitu ketergelinciran. Baik tergelincir karena diri sendiri, orang lain, bahkan bisa jadi ia malah menggelincirkan orang lain karena ketidaktahuan dan kurangnya ilmu (pemahaman) tanpa ia sadari. Contohnya ada orang yang pergi ziarah ke makam orang saleh. Ia berniat mencari berkah dengan tanah, air, atau tempat tersebut. Ia juga hendak berdoa meminta kelancara
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Menjadi Ayah Teladan
Menjadi Ayah Teladan Menjadi seorang suami atau ayah berarti mengemban tanggung jawab yang besar dan mulia. Sebagai seorang Kepala Rumah Tangga (kami mempersingkat sebutannya dalam artikel ini menjadi ‘Ayah’), peran utamanya sangat berpengaruh pada kebahagiaan atau kesengsaraan keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kebahagiaan dan kesengsaraan di sini bukan hanya dari sisi duniawi, tetapi juga dari aspek ukhrawi di mana seorang Ayah dapat membawa rumah tangganya sebagai ladang dakwah untuk dibawa ke surga atau sebaliknya. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Apabila kita telusuri lebih dalam, pertanggungjawaban seorang Ayah itu merupakan sesuatu yang mutlak untuk ditunaikan. Karena sebagai pemimpin, ia akan mempertanggungjawabkan keluarga yang ia pimpin di hadapan Allah Ta’ala kelak. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829) Seorang Ayah bukan hanya tentang menjadi pemimpin yang tegas, tetapi juga bagaimana ia mampu menunjukkan kasih sayang, kebijaksanaan, dan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Karena, tidak sedikit orang yang di luar rumah terkenal dengan kelembutan, kasih sayang, dan kebijaksanaannya kepada orang lain, tetapi di rumahnya ia menjadi seseorang yang menakutkan dengan emosi dan amarahnya yang tak mampu ia kendalikan, serta kata-kata kasar yang selalu menyakiti hati istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin kita bermimpi menjadi seorang pemimpin teladan di tengah-tengah masyarakat, sementara kepemimpinan dan kebijaksanaan dalam membina rumah tangga saja kita masih belum tuntas. Kadangkala, banyak Ayah yang enggan untuk terlebih dahulu introspeksi diri tatkala dihadapkan pada sebuah permasalahan rumah tangga. Telunjuk untuk menyalahkan mengarah pada istri ataupun anak yang dianggap tidak memahami dirinya. Padahal, kendali sepenuhnya ada pada seorang Ayah. Bagaimana ia bersikap dan merespon kontak dengan istri ataupun anak-anaknya, maka seperti itu pula pantulan sikap yang ia terima. Oleh karenanya, siapa pun kita, sebagai seorang Ayah, tak ada kata terlambat untuk memulai dari awal. Menjadi seorang teladan dalam rumah tangga, menjadikan role model Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tolok ukur sikap dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan rumah tangga. Sehingga, ikhtiar kita untuk mempertanggungjawabkan ketakwaan keluarga kita kepada Allah Ta’ala telah maksimal kita tunaikan. Maka, mari kita mulai dengan menginternalisasikan beberapa sifat dan karakter berikut untuk menjadi seorang Ayah teladan.Teladan ketaatan Menjadi teladan dalam ketaatan kepada Allah ﷻ adalah salah satu peran utama seorang Ayah. Mulai dari teladan dalam ketaatan menjalankan perintah Allah yang fundamental seperti salat, puasa, zakat, dan haji, serta ibadah-ibadah nawafil hingga menjadi teladan dalam menjaga keimanan dan kehormatan dari segala bentuk perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Seorang Ayah yang taat dalam menjalankan ibadah, mengajak keluarga untuk salat berjemaah, membaca Al-Qur’an, dan mengamalkan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan menjadi teladan yang baik bagi istri dan anak-anaknya. Keteladanan ini akan membentuk keluarga yang kokoh dalam
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Adab-adab Jamuan dan Menghadiri Undangan
ADAB-ADAB JAMUAN Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani Di antara adab-adab mengundang orang untuk menghadiri suatu jamuan adalah sebagai berikut: 1. Hendaknya mengundang orang-orang yang bertaqwa, tidak mengundang orang-orang yang fasiq dan fajir, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِناً وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ. “Janganlah engkau bergaul kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah sampai menyantap makanan kalian melainkan orang yang bertaqwa.”[1] 2. Hendaknya tidak mengkhususkan undangan bagi orang kaya saja tanpa mengundang orang-orang miskin, sebagaimana hadits: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ دُوْنَ الْفُقَرَاءِ. “Sejelek-jelek makanan adalah makanan jamuan resepsi, dimana hanya orang kaya saja yang diundang tanpa mengundang orang miskin.”[2] 3. Hendaknya acara jamuan tersebut tidak ditujukan untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri, namun jamuan tersebut diadakan dengan tujuan untuk mengikuti Sunnah dan meneladani perbuatan Nabi kita dan Nabi-Nabi yang lain, seperti Nabi Ibrahim, dimana beliau diberi julukan Abu adh-Dhifan (orang yang suka menjamu tamu). Begitu pula hendaknya diniatkan untuk menghadirkan kegembiaran di kalangan orang-orang mukmin, berbagi suka cita, kesenangan di hati saudara-saudaranya. 4. Hendaknya tidak mengundang orang yang mempunyai kendala untuk menghadiri jamuan dan tidak pula mengundang orang yang merasa terganggu dengan tamu yang hadir. Hal ini sebagai usaha untuk menjauhkan gangguan dari seorang muslim, sedangkan mengganggu sesama muslim adalah perbuatan haram.[3] ADAB-ADAB DALAM MEMENUHI UNDANGAN JAMUAN 1. Hendaknya segera memenuhi undangan dan jangan sampai menunda-nundanya kecuali jika udzur (alasan tertentu yang dibenarkan), seperti khawatir dapat merusak agama[4] dan fisiknya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ دُعِيَ فَلْيُجِبْ “Barangsiapa yang diundang, hendaklah ia memenuhinya.”[5] Dan hadits yang lainnya: لَوْ دُعِيْتُ إِلَى كُرَاعِ شَاةٍ َلأََجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ. “Jika aku diundang untuk menghadiri jamuan makan kaki kambing, pasti aku akan penuhi, jika aku dihadiahi lengan kambing, pasti aku terima.”[6] 2. Hendaknya tidak membedakan kehadirannya dalam rangka memenuhi dua undangan antara undangan dari orang miskin dan orang kaya, karena dengan (hanya mengutamakan untuk memenuhi undangan orang kaya dan) tidak memenuhi undangan dari orang miskin hanya akan membuatnya kecewa dan sedih. Di samping hal tersebut menggambarkan kesombongan, sedang sombong adalah sifat yang dibenci. Tentang memenuhi undangan orang miskin, diriwayatkan bahwa al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma berjalan melewati orang-orang miskin yang sedang menghamparkan serakan remukan roti di atas tanah dan mereka sedang memakannya. Mereka berkata kepada al-Hasan bin ‘Ali : “Mari makan siang bersama kami, wahai cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Al-Hasan bin ‘Ali berkata: “Ya boleh, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” Usai berkata seperti itu, al-Hasan bin ‘Ali turun dari baghal (peranakan kuda dan keledai) tunggangannya dan makan bersama orang-orang miskin tersebut. 3. Hendaknya tidak membedakan kehadirannya dalam rangka memenuhi dua undangan, antara undangan dari orang yang tempat tinggalnya jauh dengan undangan dari orang yang tempat tinggalnya dekat. Jika engkau mendapatkan dua undangan tersebut, maka selayaknya untuk memenuhi undangan yang lebih dulu datang, dan menyampaikan permintaan maaf kepada pengundang yang kedua. 4. Hendaknya tidak menunda-nunda untuk datang ke jamuan makan hanya dengan alasan puasa, namun ia harus tetap hadir. Jika tuan rumah (pengundang) senang jika ia memakan hidangannya, maka diperbolehkan baginya membatalkan puasa (sunnah) yang dilakukannya, karena menghadirkan kegembiraan pada hati seorang mukmin itu adalah termasuk amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Atau apabila ia tetap ingin melanjutkan puasanya, maka hendaklah ia mendo’akan tuan rumah, se
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
HUKUM DAN ATURAN PENGUMPULAN DONASI
HUKUM DAN ATURAN PENGUMPULAN DONASI Bisa jadi sebagian orang yang minta-minta (donasi): (awalnya) dengan niat yang baik, akan tetapi tidak lama kemudian masuk ambisi-ambisi pribadi; berupa: ingin dipuji manusia bahwa fulan melakukan kebaikan dan mengumpulkan donasi..dan hal-hal lain yang diinginkan oleh hawa nafsu. Bisa jadi (sebagian orang yang minta-minta donasi): mencela sebagian orang ketika mereka menjanjikan untuk memberi, tapi kemudian mereka tidak memberi, sehingga perbuatan baik (orang yang minta-minta donasi) tersebut menjadi perbuatan jelek. Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/112915-hukum-dan-aturan-pengumpulan-donasi.html 🎬 Video Pendek :: Salah Paham Tentang Donasi dan Sedekah :: https://youtu.be/87oZSU8vGgc :: Sibukkan Dengan Ilmu dan Jangan Sibukkan dengan Donasi dan Permainan :: https://youtu.be/mPYE9BX1hJ8 :: Fenomena Donasi dan Hukum Sedekah Jum’at :: https://youtu.be/ZR_Zg-sQfGc :: Khutbah Jum'at - Tangan yang diatas lebih baik dari pada tangan yang dibawah :: https://youtu.be/FvSJ8iF3pEs Tolong dibaca dan dengarkan sampai selesai, dan silahkan dishare Mudah-mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allah Ta’aala memberikan Hidayah Taufiq kepada kaum muslimin untuk memahami Agama yang benar dan beramal dengan Ikhlas karena Allah dan Ittiba’ kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam. Jazaakumullahu khairan.
Розпочато
Harits Suhail
@
|
Pengaturan Shaf Shalat Jenazah
Pengaturan Shaf Shalat Jenazah Pertanyaan: Assalaamu’alaikum. Ustadz, berapakah jumlah shaf dalam shalat jenazah yang sesuai sunah? Dan apa tujuan untuk perbanyak shaf dalam shalatnya? Wassalam. Dari: Agus Jawaban: Wa’alaikumussalam Dianjurkan untuk membentuk tiga shaf atau lebih ketika melaksanakan shalat jenazah. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini, Pertama, hadis dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم على جنازة ومعه سبعة نفر فجعل ثلاثة صفا، واثنين صفا واثنين صفا Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalati jenazah bersama 7 orang. Kemudian beliau menyusun shaf: 3 orang di shaf pertama, 2 orang di shaf kedua, dan 2 orang lagi di shaf kedua. (HR. Thabrani dalam al-Kabir, dan statusnya hasan li ghairih). Kedua, hadis dari Malik bin Hubairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مامن مسلم يموت فيصلي عليه ثلاثة صفوف من المسلمين إلا أوجب (وفي لفظ:إلا غفر له) “Jika ada seorang muslim yang meninggal, kemduian dishalati 3 shaf kaum muslimin maka doanya pasti dikabulkan. (dalam riwayat lain; “dia pasti diampuni).” (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, Hakim dan yang lainnya. Hadis ini statusnya hasan). Martsad bin Abdillah –salah satu perawi hadis– mengatakan, فكان مالك إذا استقبل أهل الجنازة جزأهم ثلاثة صفوف للحديث “Malik bin Hubairah ketika menshalati jenazah, beliau membagi 3 shaf, mengingat hadis ini.” (Ahkam al-Janaiz, Hal. 100).Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com) https://konsultasisyariah.com/16080-pengaturan-shaf-shalat-jenazah.html
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk
Nasihat ketika Konflik Rumah Tangga di Ujung Tanduk Kehidupan rumah tangga memang tidak terlepas dari konflik, yang bisa jadi semakin membesar dan semakin sulit diurai. Suasana menjadi dingin, komunikasi semakin sulit, hingga kondisi tersebut menjadi di ujung tanduk, dan mulai berpikir ke arah perceraian. Lalu, bagaimana menyikapi hal ini?Tobat dan istigfar kepada Allah Jangan buru-buru membahas dan memikirkan perceraian, namun masing-masing pihak (suami dan istri), hendaknya introspeksi diri, sudahkah istigfar dan tobat kepada Allah Ta’ala? Karena kalau berlum beristigfar dan bertobat, masalah seringan apapun tidak akan hilang. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ “Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79) وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30) Suami hendaknya istigfar dan tobat, demikian pula istri hendaknya istigfar dan tobat. Inilah konsep dan kunci untuk menyelesaikan konflik rumah tangga. Masalah rumah tangga menjadi runcing karena suami menyalahkan istri, dan istri menyalahkan suami. Separah dan sefatal apapun masalah, kalau masing-masing pihak menyadari dan mengakui kesalahannya, insya Allah masalah tersebut akan terurai. Setiap manusia pasti memiliki kesalahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ “Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad 3: 198. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 4391) Selama kita masih manusia, pasti berbuat kesalahan, sehingga tidak perlu menganggap dirinya tidak memiliki andil kesalahan dalam konflik rumah tangga tersebut. Kalau dua-duanya saling menyadari porsi kesalahan masing-masing dan meminta maaf, insya Allah masalah tersebut bisa diselesaikan. Namun, sifat menyalahkan diri sendiri adalah sifat yang mahal dan sulit. Karena setiap kita memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu. Hanya orang-orang pilihan yang memiliki mental menyalahkan diri sendiri. Renungkanlah kisa Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri, وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)Jangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenaga Nasihat kedua, hendaknya suami istri tidak mendiskusikan atau berbicara tentang perceraian, kecuali setelah mereka berjuang dan berusaha maksimal mempertahankan rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) Berusahalah bertakwa kepada Allah dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga semampu dan semaksimal yang bisa kita lakukan. Karena taufik akan Allah berikan setelah kita berusaha untuk bertakwa, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Setelah kita berusaha bertakwa semaksimal mungkin, barulah Allah memberikan solusi atau jalan keluar atas berbagai permasalahan yang kita ha
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Tanggung Jawab Istri Kepada Kedua Orang Tuanya
Tanggung Jawab Istri Kepada Kedua Orang Tuanya Pertanyaan: Apa tanggung jawab wanita yang telah menikah terhadap kedua orang tuanya? Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya. Tanggung jawab wanita yang telah menikah terhadap kedua orang tuanya seperti tanggung jawab wanita lainnya. Dan hak-hak kedua orang tua tetap seperti sebelum dan sesudah pernikahan. Cuma ketaatannya kepada suami menjadi lebih ditekankan dibanding ketaatan kepada kedua orang tua ketika terjadi pertentangan. Kalau terjadi pertentangan urusan orang tua dengan urusan suami, maka yang didahulukan adalah urusan suami. Meskipun seharusnya seorang suami istri berusaha menghindari adanya benturan perintah keduanya dengan perintah kedua orang tua. Dan menjaga agar dapat menyatukan diantara kedua orang tua dengan urusan suami istri. Yang perlu diperhatikan bagi wanita yang telah menikah terhadap kedua orang tuanya adalah menjaga pada satu waktu ke waktu lainnya untuk mengunjunginya. Memberikan hadiah pada momen tertentu meskipun tidak harus mahal secara materi. Menjaga agar tidak membuat gaduh dengan permainan anak-anak ketika berkunjung. Serta menjauhi memindah perselisihan keluarga kepadanya. Syekh Muhammad Ad-Duwaisy Kalau kedua orang tuanya membutuhkan nafkah sementara dia mampu, maka seharusnya dia bantu semampunya. Kalau dia tidak mempunyai dana khusus, hendaknya meminta bantuan kepada suami yang mampu untuk membantu kedua orang tuanya, insyaallah akan diberi pahala akan hal itu dan juga termasuk bakti kepada kedua orang tuanya. Refrensi: Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajid https://m.islamqa.info/id/answers/21737
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Adab-adab Safar
ADAB-ADAB SAFAR Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani A. Adab-Adab Sebelum Safar 1. Melakukan shalat Istikharah sebelum bepergian, yaitu shalat sunnah dua raka’at kemudian berdo’a dengan do’a Istikharah. Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan al-Qur-an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah melakukan shalat sunnat (Istikharah) dua raka’at kemudian membaca do’a: “اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ، اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِي وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.” “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Mahaagung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan Engkau-lah Yang Mahamengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendak-nya menyebutkan persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya ter-hadap diriku -atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau Akhirat’- sukseskanlah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku, atau -Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau akhirat,’- maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku dari padanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.” [HR. Al-Bukhari no. 1162, 6382 dan 7390] 2. Hendaknya bertaubat kepada Allah dari segala macam kemaksiatan yang telah diperbuatnya dan beristighfar dari setiap dosa yang dilakukannya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia melakukan safar dan tidak mengetahui pula takdir yang menimpanya. Bagi seorang yang hendak safar hendaknya mengembalikan barang-barang yang pernah dirampasnya kepada pemiliknya, membayar hutang-hutang, menyiapkan nafkah (uang belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah, segera menyelesaikan perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis wasiat kepada ahli warisnya dengan dihadiri para saksi, dan meninggalkan uang belanja kepada keluarganya (isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan kebutuhan pokok yang dapat mencukupinya.[1] Hendaknya seorang yang hendak safar tidak membawa perbekalan kecuali dari sumber yang halal lagi baik. 3. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang atau lebih. Sebagaimana hadits: اَلرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ. “Satu pengendara (musafir) adalah syaitan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaitan, dan tiga pengendara (musafir) ialah rombongan musafir.”[2] 4. Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih, yaitu orang yang dapat membantu menjaga agamanya, menegurnya apabila lupa, membantunya jika dibutuhkan dan mengajarinya apabila ia tidak tahu. 5. Mengangkat pemimpin, yaitu hendaknya menunjuk seorang ketua rombongan dalam safar, sebagaimana hadits: إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ. “Jika tiga orang (keluar) untuk bepe
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Di Antara Keutamaan Tauhid
Di Antara Keutamaan Tauhid Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyebutkan berbagai keutamaan yang akan diraih oleh seorang insan dengan tauhid sebagai berikut. Tauhid adalah sebab utama untuk menemukan jalan keluar atas segala kesusahan dunia dan akhirat serta untuk menolak berbagai hukuman (siksa). Tauhid akan menghalangi pelakunya dari kekal di dalam neraka, selama di dalam hatinya masih tersisa iman walaupun hanya seberat biji sawi. Dan apabila iman (tauhid) yang terdapat di dalam hatinya sempurna, niscaya hal itu akan menjadi penghalang baginya dari segala macam siksa neraka. Pemilik tauhid akan mendapatkan petunjuk yang sempurna dan keamanan yang sepenuhnya di dunia maupun di akhirat. Tauhid merupakan satu-satunya jalan untuk menggapai rida Allah dan pahala dari-Nya. Dan orang yang paling berbahagia dengan syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas (bebas dari syirik, pent) dari dalam lubuk hatinya. Segala bentuk amalan lahir maupun batin hanya akan diterima, sempurna, dan mendapatkan pahala di sisi Allah jika dibarengi dengan tauhid. Sehingga, apabila tauhid dan keikhlasan seorang hamba semakin sempurna, niscaya perkara-perkara ini pun menjadi sempurna dan diperolehnya secara utuh. Tauhid akan meringankan hamba dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran. Selain itu, tauhid akan menghiburnya saat tertimpa berbagai bentuk musibah. Seorang yang ikhlas kepada Allah dalam keimanan dan tauhidnya, niscaya akan terasa ringan baginya ketaatan-ketaatan, sebab dia senantiasa mengharap pahala dari Rabbnya dan keridaan-Nya. Demikian pula, akan terasa mudah baginya untuk meninggalkan apa-apa yang disenangi oleh hawa nafsunya berupa kemaksiatan, karena dia khawatir akan murka dan hukuman-Nya Apabila tauhid sempurna di dalam hati seseorang, maka Allah akan membuatnya mencintai keimanan dan membuat hal itu terasa indah di dalam hatinya. Dan Allah membuat kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan menjadi hal yang dia benci, kemudian Allah akan menjadikan orang tersebut sebagai orang-orang yang mengikuti petunjuk dan meniti jalan yang benar. Tauhid juga akan meringankan hal-hal yang dirasa tidak menyenangkan dan membuat terasa ringan berbagai derita yang harus dirasakan. Maka, seorang hamba akan bisa menghadapi beratnya beban dan derita dengan penuh kelapangan apabila dia memiliki kesempurnaan tauhid dan keimanan. Sehingga, beban dan derita akan dihadapinya dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang, serta senantiasa pasrah dan rida terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan. Tauhid juga menjadi sebab terbebasnya seorang hamba dari penghinaan dan perendahan dirinya kepada sesama makhluk. Sehingga, ia akan terbebas dari cengkraman rasa takut, harap, atau beramal demi makhluk. Inilah hakikat kemuliaan yang sebenarnya dan kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dia senantiasa memuja dan beribadah kepada Allah dan tidak mengharap, kecuali kepada-Nya. Tidak takut, kecuali kepada-Nya. Tidak bertobat dan taat, kecuali kepada-Nya. Dengan itulah, akan sempurna kebahagiaan dan tercapai keselamatan dirinya. Di antara keutamaan tauhid yang tidak bisa disamai oleh amal apapun adalah jika tauhid itu sempurna di dalam hati serta terwujud secara utuh dalam bentuk keikhlasan yang murni, maka ia akan mengubah amal yang sedikit menjadi besar nilainya, amal dan ucapannya pun menumbuhkan pahala yang berlipat ganda tanpa batasan dan perhitungan. Dan tatkala itulah kalimat ikhlas menjadi sangat berbobot di dalam timbangan amalnya. Sehingga langit dan bumi beserta para penghuninya pun tidak bisa mengimbangi bobot dan keutamaannya. Sebagaimana kisah si pemilik kartu laa ilaha illallah yang ditimbang dan mampu mengalahkan beratnya sembilan puluh sembilan gulungan catatan dosa, yang setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Tidaklah hal itu terjadi, kecuali karena kesempurnaan ikhlas orang yang mengucapkannya. Di sisi lain, betapa banyak orang yang mengucapkan laa ilaha illallah, tetapi tidak mencapai tingkatan ini. Dikarenakan di dalam hatinya tidak terdapat tauhid
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Adab-adab Makan dan Minum
ADAB-ADAB MAKAN DAN MINUM Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani Adab-adab makan dan minum meliputi tiga hal; adab sebelum makan, adab ketika makan dan adab setelah makan. Adab Sebelum Makan a. Hendaknya berusaha (memilih untuk) mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan baik serta tidak mengandung unsur-unsur yang haram, berdasarkan firman Allah: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” [Al-Baqarah/2: 172] b. Meniatkan tujuan dalam makan dan minum untuk menguatkan badan, agar dapat melakukan ibadah, sehingga dengan makan minumnya tersebut ia akan diberikan ganjaran oleh Allah. c. Mencuci kedua tangannya sebelum makan, jika dalam keadaan kotor atau ketika belum yakin dengan kebersihan keduanya.[1] d. Meletakkan hidangan makanan pada sufrah (alas yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan) yang digelar di atas lantai, tidak diletakkan di atas meja makan, karena hal tersebut lebih mendekatkan pada sikap tawadhu’. Hal ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata: مَا أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ سُكُرُّجَةٍ. “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah makan di atas meja makan dan tidak pula di atas sukurrujah.”[2] [HR. Al-Bukhari no. 5415] e. Hendaknya duduk dengan tawadhu’, yaitu duduk di atas kedua lututnya atau duduk di atas punggung kedua kaki atau berposisi dengan kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Hal ini sebagaimana posisi duduk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didasari dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ. “Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba.” [HR. Al-Bukhari no. 5399] f. Hendaknya merasa ridha dengan makanan apa saja yang telah terhidangkan dan tidak mencela-nya. Apabila berselera menyantapnya, jika tidak suka meninggalkannya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu : مَا عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعاَماً قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ. “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berselera, (menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau memakannya, sedangkan kalau tidak suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya.”[3] g. Hendaknya makan bersama-sama dengan orang lain, baik tamu, keluarga, kerabat, anak-anak atau pembantu. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: اِجْتَمِعُوْا عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ. “Berkumpullah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” [HR. Abu Dawud no. 3764, hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 664] 2. Adab Ketika Sedang Makan a. Memulai makan dengan mengucapkan, ‘Bismillaah.’ Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى، فَإِذَا نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ. “Apabila salah seorang di antara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismillaah’, dan jika ia lupa untuk mengucapkan bismillaah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan: ‘Bismillaah awwaalahu wa aakhirahu’ (dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhirnya).”[4] b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنَ أَكَلَ طَعَاماً وَقَالَ: اَلْحَمْدُ ِِللهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. “Barangsiapa sesudah selesai makan berdo’a: ‘Alhamdulillaahilladzi ath‘amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin (Segala puji
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
Adab-adab yang Berkaitan Dengan Suami Isteri
ADAB-ADAB YANG BERKAITAN DENGAN SUAMI ISTERI Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani 1. Masing-masing dari suami dan isteri hendaknya mempercantik diri (berhias) hanya untuk pasangannya. 2. Hendaknya suami melakukan sunnah-sunnah fithrah, Yaitu ; khitan, membersihkan bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.[1] Hal ini berlaku juga untuk seorang isteri, dan tidak membiarkannya lebih dari 40 hari.[2] Hendaknya seorang isteri menjauhkan diri dari menyerupai wanita-wanita kafir dalam hal memanjangkan kuku dan mengecatnya. 3. Hendaknya seorang isteri menjauhkan diri dari melakukan tato, mencukur/mencabut alis seluruhnya atau sebagiannya atau dengan cara yang semisalnya. Begitu juga tidak boleh merenggangkan gigi, yaitu memisahkan gigi satu dengan yang lainnya sehingga jaraknya berjauhan satu dengan yang lainnya. Semua hal tersebut haram dan pelakunya dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits berikut: “لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِماَتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَقَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ.” “Allah melaknat wanita pembuat tato dan wanita yang meminta ditato, wanita yang mencabut alis atau wanita yang meminta dicabut alisnya dan wanita yang merenggangkan giginya untuk mempercantik dirinya dengan merubah ciptaan Allah.”[3] 4. Hendaknya pasangan suami isteri melakukan shalat berjama’ah dua raka’at bersama-sama (sebelum melakukan jima’/persetubuhan). Sebagaimana keterangan atsar dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa beliau memerintahkan Abu Huraiz, apabila isterinya mendatanginya agar shalat di belakangnya sebelum menggaulinya. [Riwayat Abu Bakar Abi Syaibah dan ath-Thabrani. Lihat Adaa-buz Zifaf hal. 95 oleh Syaikh al-Albani] Hal tersebut merupakan peringatan bagi pasangan suami isteri, apabila hendak meraih kebahagiaan di dunia dan Akhirat maka selayaknya harus mendasari semua perilakunya dengan nilai taqwa. 5. Hendaknya sang suami, meletakkan tangannya di atas kepala isterinya (ubun-ubunnya) kemudian menyebut Nama Allah, lalu mendo’akan dengan keberkahan dan mengucapkan do’a: اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.” “Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan perempuan ini, juga kebaikan tabiat-nya (wataknya) dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kejelekan tabiatnya.”[4] 6. Hendaknya sang suami tidak lupa untuk mengucapkan do’a sebelum menggauli isterinya dengan membaca: بِسْمِ اللهِ، اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا. “Dengan menyebut Nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan agar tidak mengganggu apa yang Engkau rizkikan kepada kami.”[5] Sedangkan lanjutan lafazh hadits tersebut adalah: …فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا لَمْ يَضُّرَهُ. “…Apabila ditakdirkan mendapatkan anak, maka syaitan tidak dapat mengganggu selama-lamanya.” 7. Diperbolehkan bagi pasangan suami isteri untuk saling melihat seluruh aurat pasangannya. Sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma : كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ وَاحِدٌ (تَخْتَلِفُ أَيْدِيْنَا فِيْهِ) فَيُبَادِرُنِيْ حَتَّى أَقُوْلَ: دَعْ لِيْ، دَعْ لِيْ، قَالَتْ: وَهُمَا جُنُبَانِ. “Aku pernah mandi berdua dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu wadah yang terletak antara aku dan beliau. Tangan kami berebutan menciduki air yang ada di dalamnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menang dalam perebutan itu, lalu aku katakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku.’ Padahal pada saat itu kami sedang dalam keadaan junub.”[6] 8. Lebih disukai bagi orang yang junub untuk berwudhu’ ketika hendak tidur, lebih utama lagi kalau mandi. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Qais, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur atau tidur sebelum mandi?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Semua pernah
Розпочато
Abu Prada Aisyah
@
|
1 - 20 з 55261